LAYAR NEWS, MAKASSAR – Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Lolly Suhenty, menyatakan bahwa terdapat kerawanan yang luar biasa terkait netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah sebelumnya.
Pernyataan ini didasarkan pada data yang dirilis oleh Bawaslu, di mana pada Pemilu 2019 terdapat 999 penanganan pelanggaran terkait netralitas ASN, dan dari jumlah tersebut, 89 persennya direkomendasikan oleh Bawaslu kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
Selanjutnya, pada Pilkada 2020, terdapat 1.536 penanganan pelanggaran netralitas ASN, dan dari jumlah tersebut, 91 persennya direkomendasikan oleh Bawaslu kepada KASN. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada permasalahan serius terkait netralitas ASN yang perlu ditangani dengan serius dan efektif dalam proses pemilihan di Indonesia.
“Artinya selama Pemilu 2019, sebanyak 89 persen dugaan pelanggaran hukum lainnya utamanya berkenaan dengan netralitas ASN terbukti. Juga, selama Pilkada 2020 sebanyak 91 persen terbukti penanganan pelanggaran Bawaslu, karena itu ada kerawanan yang luar biasa di netralitas ASN,” tegasnya saat membuka Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pencegahan Pelanggaran Netralitas ASN pada Pemilu Serentak 2024 di Makassar, Kamis (20/7/2023) malam.
Benar, Lolly Suhenty menyatakan bahwa sebenarnya sudah ada tiga undang-undang yang menegaskan bahwa Aparatur Sipil Negara (ASN) harus bersikap netral dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Ketiga undang-undang tersebut adalah:
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, di mana Pasal 2 menyatakan bahwa setiap pegawai ASN harus patuh pada asas netralitas, yaitu tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan tertentu.
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juga mengandung pasal yang mengatur tentang netralitas ASN dalam proses pemilihan umum.
- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah memiliki dua pasal (Pasal 70 dan Pasal 71) yang mengatur tentang netralitas ASN. Pasal 70 ayat (1) melarang Aparatur Sipil Negara, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan anggota Tentara Nasional Indonesia terlibat dalam kampanye pasangan calon. Sementara itu, Pasal 71 ayat (1) melarang pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa kampanye.
Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut dapat dikenakan sanksi pidana dengan hukuman penjara paling lama 6 bulan dan denda paling banyak 6 juta rupiah sesuai dengan Pasal 188 dan Pasal 189. Meskipun undang-undang sudah mengatur tentang netralitas ASN, implementasinya perlu lebih diperkuat dan diawasi agar netralitas tersebut benar-benar terjaga dalam proses pemilihan di Indonesia.
“3 UU tersebut mengatur norma bahwa ASN harus netral. Tidak perlu bingung lagi, tiga undang-undang bicara soal ASN harus netral, apa yang boleh dan tidak boleh, juga ada dalan SKB lima lembaga,” tegasnya.
Menurut Lolly, untuk mencegah terjadinya pelanggaran netralitas ASN dalam pemilihan, salah satu alat mitigasi yang akan segera diluncurkan menjelang kampanye adalah Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Netralitas ASN.
“IKP tematik salah satunya soal netralitas ASN akan segera diluncurkan menjelang tahapan kampanye dimulai, alat itu akan menjadi mitigasi risiko yang lebih detail dan lebih konkrit guna memudahkan kita semua mencegahnya,” ujarnya.
Sebelumnya, Gubernur Sulawesi Selatan Andi Sudirman Sulaiman meminta kepada KASN dan Bawaslu membuat buku saku secara rinci untuk ASN mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
“Dengan kedatangan Bawaslu dan JASN kami memohon tidak ada salahnya perlu ditegaskan dibuat secara rinci atau buku saku untuk ASN mana boleh dan tidak boleh secara gamblang (untuk mencegah terjadinya pelanggaran netralitas ASN),” pintanya.
Sebagai informasi, Rakornas tersebut juga akan diberikan paparan dari KASN, Kemenpan RB, Kemendagri, dan BKN.