LAYAR NEWS — Pemerintah Indonesia berencana melakukan redenominasi atau penyederhanaan nilai mata uang rupiah tanpa mengurangi nilai tukar atau daya belinya. Dalam redenominasi ini, 3 angka nol di belakang nilai nominal mata uang akan diganti.
Perubahan yang signifikan adalah pada nilai nominal yang tercetak pada uang kertas rupiah. Misalnya, nominal Rp100.000 akan menjadi Rp100, Rp50.000 menjadi Rp50, Rp20.000 menjadi Rp20, dan Rp10.000 menjadi Rp10.
Sementara pecahan Rp2.000 dan Rp1.000 juga akan berubah menjadi Rp2 dan Rp1.
Namun disadari atau tidak, belakangan ini para pengguna atau pelaku bisnis media sosial sudah sudah mulai menerapkan penyederhanaan ini dengan menggantikan angka 0 di belakang dengan huruf ‘K’ atau ‘Kilo’ (chilioi/Bahasa Yunani) sebagai simbol ribu. Misal Rp4K untuk Rp4.000
Selain itu, redenominasi ini juga akan memungkinkan penggunaan uang pecahan sen. Uang pecahan sen adalah uang dengan nilai di bawah Rp1. Contohnya, Rp500 akan menjadi 5 sen, Rp200 menjadi 2 sen, dan Rp100 menjadi 1 sen.
Perubahan tidak hanya terjadi pada nominal yang tercetak di mata uang, tetapi juga pada nilai keseluruhan rupiah. Misalnya, jika sebelumnya kita berbelanja seharga Rp800.000, setelah redenominasi jumlah tersebut akan menjadi Rp800. Yang berubah adalah nilainya, sedangkan nilai tukarnya tetap setara dengan Rp800.000 yang berlaku saat ini.
Bagaimana dengan nilai yang tidak genap, seperti Rp73.576? Untuk nilai yang tidak genap akan terjadi pembulatan menjadi Rp73,60, yang berarti tujuh puluh tiga rupiah enam puluh sen.
Lebih Lanjut Tentang Redenominasi
Redenominasi, mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah penyederhanaan nilai mata uang tanpa mengubah nilai tukarnya di pasaran. Tujuan dari redenominasi adalah untuk meminimalisir jumlah digit pada pecahan tanpa mengurangi harga, nilai, atau daya beli terhadap barang maupun jasa.
Redenominasi berbeda dengan sanering atau pemotongan nilai uang yang pernah terjadi pada akhir 1950-an. Pada saat itu, uang pecahan Rp500 dan Rp1.000 mengalami penurunan nilai menjadi Rp50 dan Rp100. Sanering berarti memangkas nilai uang hingga 90 persen.
Redenominasi, dalam konteks saat ini, bertujuan untuk membuat transaksi menjadi lebih efisien. Secara teknis, setelah redenominasi dilakukan, jumlah angka pada uang pecahan akan menjadi lebih kecil, tetapi nilainya tetap sama. Istilah redenominasi sendiri telah merasuk ke kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, seperti penggunaan embel-embel huruf ‘K’ untuk menyingkat satuan ribuan, contohnya Rp15K untuk Rp15.000.
Redenominasi Rupiah memiliki manfaat lain selain menyederhanakan digit. Menurut Permana dalam Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik (2015), pecahan mata uang Rupiah menjadi salah satu yang terbesar di dunia setelah Zimbabwe dan Vietnam. Di kawasan Asia Tenggara, pecahan Rp100.000 menjadi yang terbesar kedua setelah Dong Vietnam 500.000.
Pecahan uang yang besar ini dapat menimbulkan beberapa permasalahan di tengah masyarakat Indonesia. Dalam hal perbankan, penyederhanaan digit akan menghemat biaya teknologi. Selain itu, mengurangi jumlah digit pada Rupiah juga memudahkan pembacaan laporan keuangan dalam kegiatan akuntansi.
Salah satu tujuan redenominasi Rupiah adalah untuk memperkuat perekonomian Indonesia agar setara dengan negara-negara lain, terutama di tingkat regional. Secara internasional, penyederhanaan digit mata uang dinilai lebih ringkas dan mudah dipahami. Selain itu, redenominasi juga mencerminkan kesetaraan kredibilitas antara negara berkembang dan negara maju.
Wacana Redenominasi Rupiah Sudah Lama
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, telah memperhatikan desain, tahapan, dan langkah-langkah menuju transisi redenominasi Rupiah. Namun, ada tiga faktor yang membuat kebijakan tersebut belum direalisasikan. Pertama, kondisi makroekonomi yang tidak baik.
Kedua, keadaan moneter dan stabilitas sistem keuangan. Ketiga, kondisi sosial politik yang kurang kondusif.
Perry menyatakan bahwa perekonomian Indonesia secara umum sudah baik, tetapi masih terdapat efek rambatan dari pelemahan ekonomi di tingkat global. Meskipun stabilitas keuangan Indonesia dianggap seimbang, tetapi terdapat ketidakpastian dalam perekonomian.
Oleh karena itu, ia meminta kesabaran dari semua pihak, termasuk masyarakat, untuk menunggu momen yang tepat.
Perry tidak memberikan informasi mengenai kesiapan redenominasi Rupiah dari sisi sosial politik, dan menyatakan bahwa pemerintah yang lebih mengetahui hal tersebut.
Wacana redenominasi Rupiah telah muncul berkali-kali, bahkan sejak masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Namun, rencana tersebut belum terlaksana. Pada tahun 2020, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Harga Rupiah sebagai bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) telah disahkan oleh Kementerian Keuangan. Namun, detailnya belum dijelaskan secara rinci dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 77/PMK.01/2020 yang menguraikan strategi Kementerian Keuangan untuk periode 2020-2024.