LAYAR.NEWS, Makassar — Guru Besar Hidrometeorologi dari Departemen Geofisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Hasanuddin, Prof Halmar Halide memaparkan, bagaimana perubahan iklim, khususnya fenomena El Nino-Southern Oscillation (ENSO), berdampak pada pengelupasan seni cadas berusia lebih dari 50.000 tahun yang terdapat di kawasan Geopark Maros-Pangkep.
Penelitian Prof Halmar menemukan bahwa perubahan suhu dan kelembaban akibat El-Nino mempercepat degradasi seni cadas di beberapa gua di Maros-Pangkep, seperti Leang Pettae, Leang Parewe, Leang Jing, dan Leang Jarie.
Selain itu, ada faktor tambahan berupa aerosol sulfur, yang berasal dari aktivitas manusia seperti emisi kendaraan diesel, pembakaran jerami, dan industri, yang semakin mempercepat proses kerusakan lukisan gua.
“Penelitian ini juga melibatkan pemanfaatan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) untuk memodelkan hubungan antara variabilitas iklim dan tingkat kerusakan lukisan gua,” ungkapnya dalam keterangan tertulis yang diterima dari Kepala Bidang Hubungan Masyarakat
Kantor Sekretariat Rektor Unhas, Ishaq Rahman, Sabtu, 22 Maret 2025.
“Data cuaca dari NASA dan indeks ENSO digunakan untuk membangun model prediksi yang dapat membantu memahami pola pengelupasan. Hasilnya menunjukkan bahwa perubahan iklim memiliki korelasi signifikan dengan tingkat kerusakan seni cadas tersebut,” kata Prof Halmar.
Hal tersebut diterangkan Prof Halma saat menjadi narasumber dalam Webinar Peringatan Hari Meteorologi Dunia yang diselenggarakan di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada Sabtu. Webinar yang bertema “Peningkatan Kualitas Calon Garda Depan Informasi Cuaca dan Iklim Indonesia”.
Prof Halmar menyajikan perspektif baru dengan menghubungkan perubahan iklim dan fenomena cuaca ekstrem terhadap degradasi warisan budaya di Indonesia. Melalui presentasinya berjudul “The Impact of ENSO and Weather on Cave Art Exfoliation in the UNESCO Global Geopark Maros-Pangkep”.
Sebagai pakar hidrometeorologi, Prof Halmar telah beberapa kali menjadi pembicara dalam Webinar serupa di ITB, membahas topik terkait mitigasi bencana dan perubahan iklim. Namun, tahun ini ia memilih sudut pandang yang berbeda.
Jika sebelumnya ia lebih banyak membahas tentang sistem peringatan dini, kali ini ia mengangkat warisan budaya sebagai salah satu aspek yang turut terdampak oleh perubahan iklim.
“Ketika saya kembali diundang untuk Webinar ini, saya ingin membawa sesuatu yang berbeda. Bukan hanya membahas cuaca dan iklim dalam konteks teknis, tetapi juga menunjukkan dampaknya terhadap hal yang lebih luas, termasuk budaya,” ungkap Prof Halmar.
Lebih jauh, Prof Halmar menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor, termasuk keterlibatan kementerian dan komunitas peneliti dari berbagai disiplin ilmu, untuk mengembangkan strategi konservasi berbasis pemantauan iklim.
“Kita perlu menghindari kerja sendiri-sendiri yang bisa berujung pada tumpang tindih riset. Justru, dengan menghimpun para peneliti dan pihak terkait dalam satu kolaborasi besar, kita bisa menciptakan solusi yang lebih efektif,” ujarnya.
Dengan menghadirkan pakar dari berbagai universitas dan institusi, Webinar ini diharapkan membuka diskusi lebih luas tentang peran ilmu atmosfer tidak hanya dalam mitigasi bencana, tetapi juga dalam menjaga warisan budaya dunia.
Melalui penelitian ini, Prof Halmar ingin menyebarkan kesadaran bahwa konservasi seni gua bukan sekadar isu arkeologi atau sejarah, tetapi juga berkaitan erat dengan dinamika iklim global yang terus berubah.
Webinar ini menjadi kesempatan penting bagi akademisi, pemerhati lingkungan, dan komunitas budaya untuk memahami keterkaitan antara perubahan iklim dan pelestarian warisan budaya. Sebab, siapa lagi yang akan menjaga warisan ini jika bukan generasi mendatang.