LAYAR.NEWS, Jakarta — Anjloknya penerimaan pajak jadi sorotan DPR RI. Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati menyebut berdasarkan pertumbuhannya, realisasi penerimaan Perpajakan dan PNBP masing-masing terkontraksi 2,73 persen (yoy) dan 4,78 persen (yoy).
“Fenomena meroketnya harga komoditas sudah berakhir, situasi ini menjadi warning bagi pemerintahan baru, agar nantinya lebih hati-hati lagi dalam pengelolaan keuangan negara,” ungkap Anis dalam keterangan tertulis dilansir dari laman resmi Parlementaria-DPR RI, Rabu, 6 November 2024.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan hingga akhir Agustus 2024, realisasi Pendapatan Negara dan Hibah tercatat Rp1.776,98 triliun atau baru mencapai 63,41 persen dari target APBN 2024. “Capaian tersebut secara nominal lebih rendah Rp45,15 triliun dari periode yang sama tahun lalu atau terkontraksi 2,48 persen (yoy),” sambung Politisi Fraksi PKS ini.
Legislator Dapil Jakarta I ini mengingatkan implikasi dari anjloknya pendapatan, sehingga defisit melebar secara signifikan nyaris menyentuh batas aman 3 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB).
“Harus ada intervensi pemerintah untuk mendongkrak daya beli masyarakat, sehingga memberi efek positif bagi perekonomian Indonesia secara menyeluruh”.
“Pemerintah perlu rem belanja yang tidak dan kurang produktif. Hal ini sejalan dengan pidato Presiden Prabowo untuk K/L mengurangi studi banding ke luar negeri, atau menahan proyek mercusuar seperti IKN baru, harus ada rasionalisasi program yang dijalankan, sehingga mendorong juga daya beli masyarakat,” paparnya.
Politisi Fraksi PKS ini juga mencermati terpuruknya angka Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang baru dirilis S&P Global beberapa hari lalu.
“Kondisi bisnis Indonesia di sektor manufaktur per Oktober sebesar 49,2 atau kembali terkontraksi di bawah angka 50, penurunan PMI manufaktur jadi indikasi pesimisme pelaku usaha, harus diantisipasi karena bisa berimbas pada lesunya pendapatan negara,” ujar Wakil Ketua Baleg ini.
Anis mengungkap PMI Manufaktur Indonesia sudah kontraksi selama empat bulan beruntun yakni pada Juli (49,3), Agustus (48,9), September (49,2), dan Oktober (49,2).
“Pemerintah harus berikan kebijakan yang mampu meyakinkan dunia usaha, agar bisnis bidang manufaktur bisa yakin terhadap kondisi pasar pada masa kedepannya,” tegasnya.
“Harus ada intervensi pemerintah untuk mendongkrak daya beli masyarakat, sehingga memberi efek positif bagi perekonomian Indonesia secara menyeluruh, mengingat industri manufaktur menjadi kontribusi terbesar PDB Indonesia,” pungkasnya.