LAYAR NEWS — Pemerintah telah memulai program penyebaran nyamuk yang membawa Wolbachia di Indonesia. Hal ini sebagai langkah pencegahan demam berdarah. Program ini mendapatkan perhatian luas dari masyarakat karena dianggap berpotensi menimbulkan bahaya, seperti radang otak.
Ari Utarini, seorang peneliti dari Universitas Gadjah Mada, menjelaskan bahwa teknologi Wolbachia tidak memiliki keterkaitan dengan radang otak Japanese Encephalitis, seperti yang banyak beredar di media sosial.
Menurut Ari, Wolbachia adalah nama bakteri yang dimasukkan ke dalam nyamuk Aedes Aegypti, yang merupakan vektor atau penyebar demam berdarah. Penambahan Wolbachia ini bertujuan untuk mengurangi kemampuan nyamuk tersebut untuk menyebarkan virus demam berdarah.
“Ternyata Japanese encephalitis ini nyamuknya berbeda, yaitu nyamuk Culex. Penyakitnya juga berbeda. Jadi tidak ada kaitannya dengan teknologi Wolbachia,” kata Utarini dalam diskusi daring bertajuk ‘Mengenal Wolbachia dan Fungsinya untuk Mencegah Demam Berdarah’, Senin (20/11/2023) dilansir Katadata.
Selain berkaitan dengan radang otak, masyarakat sering kali meragukan Wolbachia dalam konteks filariasis atau penyakit kaki gajah. Menurut Utarini, Wolbachia yang menjadi penyebab kaki gajah hidup pada cacing, bukan pada nyamuk Aedes aegypti. Utarini menjelaskan bahwa Wolbachia bukan hanya satu jenis, melainkan ada ribuan jenis.
Epidemiolog dari Universitas Gadjah Mada, Riris Handono Ahmad, juga menyatakan bahwa nyamuk Aedes aegypti dapat menularkan empat jenis penyakit, yaitu zika, chikungunya, demam kuning, dan demam berdarah dengue (DBD). Meskipun begitu, Handono menekankan bahwa setiap penyakit yang disebabkan oleh vektor memiliki vektor masing-masing dan tidak saling mempengaruhi satu sama lain.
“Bisa jadi ada penyakit lain lagi, tapi kalau disebabkan vektor nyamuk lain, tinggi rendahnya kejadian tersebut tidak akan disebabkan vektor yang bukan perantaranya,” kata Handono. “Kalau Aedes aegypti ya empat penyakit tadi, Japanese encephalitis ada di nyamuk Culex.”
Penelitian Wolbachia untuk penanganan DBD di Indonesia sudah berjalan sejak 2011 di Yogyakarta. Bakteri ini digunakan sebagai pelengkap penanganan DBD, bukan menggantikan program yang sudah ada seperti vaksin dan fogging.
Meskipun begitu, penting untuk dicatat bahwa Wolbachia lahir secara alami dan bukan hasil rekayasa genetik. Wolbachia yang diintroduksi ke dalam tubuh Aedes aegypti, dalam konteks program pencegahan demam berdarah, adalah tipe wMel. Jenis Wolbachia ini awalnya hidup pada lalat buah atau Drosophila melanogaster. Utarini bahkan menjelaskan bahwa Wolbachia dapat ditemukan pada sekitar 50% serangga di alam.
Berdasarkan penelitian mereka, Wolbachia dianggap aman bagi manusia, hewan, dan lingkungan karena tidak dapat berpindah ke inang lain. Menurut Handono, bakteri Wolbachia hanya dapat tinggal dalam sel tubuh serangga, dan ketika keluar, bakteri tersebut akan segera mati.
“Misalnya nyamuk menggigit manusia, ada ludah. Ludah itu bukan sel, jadi nggak akan ada Wolbachia di ludah nyamuk,” kata Handono lagi.
Lebih jauh ia mengatakan dalam situasi tertentu bila Wolbachia keluar dari sel kelenjar ludah nyamuk ia tidak bisa ditularkan kepada manusia. Menurutnya penularan Wolbachia hanya bisa terjadi lewat perkawinan nyamuk dan turun ke telurnya.