LAYAR NEWS, Makassar – Pernikahan adalah suatu proses sakral dalam kehidupan. Kedua belah pihak akan saling mengikat dan bersepakat menjalani hidup bersama. Sebelum masa pernikahan, tentu beragam syarat mesti dipenuhi dan dijalankan. Tergantung dari kultur dari daerah masing-masing berasal.
Di Sulawesi Selatan, khususnya orang-orang Makassar, ada proses menjelang akad nikah yang disebut Akkorongtigi. Berarti malam sakral atau malam pacar. Malam dimana calon mempelai wanita duduk didampingi keluarganya sembari dibacakan lantunan doa-doa sebagai wujud syukur dan meminta perlindungan kepada sang pencipta.
Sekaligus dimaksudkan agar proses akad nikah berlangsung dengan lancar. Akkorongtigi kerap juga disandingkan sebagai proses penyucian diri dari segala tingkah laku yang diperbuat kedua mempelai sebelum acara pernikahan berlangsung. Penjelasan itu tertuang sebagaimana yang dilansir dari laman resmi Warisan Budaya Tak Benda, Kemendikbud RI, Jumat, 23 Februari 2024.
Biasanya lantunan ayat suci yang dibacakan seperti Badrun Alaina. Yang dalam bahasa Makassar disebut Niallemi Saraka, yang berarti semua syarat sesuai dengan aturan agama dikombinasikan dengan adat sudah diambil atau sudah dilalui. Semua proses itu semata-mata dimaksudkan agar kedua mempelai kelak bisa sama-sama menjalani rumah tangga dengan baik dan sejahtera.
Akkorongtigi menggunakan simbol-simbol yang sarat makna akan menjaga keutuhan keluarga, dan memelihara kasih sayang dalam rumah tangga seperti Benno, Tai Bani, Bantal, Sarung yang disusun tujuh lapis, Daun Pisang, Daun Nangka dan Bekkeng. Benno yaitu beras yang digoreng kering hingga mekar melambangkan harapan, semoga calon pengantin ini akan mekar berkembang dengan baik, bersih dan jujur.
Tai Bani merupakan lilin dari lebah, yang melambangkan suluh (penerang) kehidupan agar menjadi suri tauladan dalam kehidupan bermasyarakat. Bantal disimbolkan kemakmuran. Secara khusus diartikan sebagai pengalas kepala yang artinya penghormatan atau martabat. Sarung yang disusun 7 lembar, melambangkan harga diri. Daun Pisang, melambangkan kehidupan yang sambung menyambung. Daun Nangka, berarti cita-cita yang luhur.
Bekkeng, tempat paccing yang sudah ditumbuk halus, mengandung arti kerukunan hidup dalam suatu keluarga dan daun paccing itu sendiri yang melambangkan kesucian prosesi Akkorontigi dilaksanakan pada malam hari, calon mempelai duduk di Lamming, dengan tangan bersimpuh menghadap ke atas. Saat membaca barzanji (pabarazanji) sampai pada bacaan Badrun Alaina. Dengan sedikit mengambil daun paccing, seorang ibu membubuhi telapak tangan calon pengantin, sementara itu barzanji tetap di bacakan.
Setelah semua tamu yang ditetapkan melakukan Akkorontigi, seluruh hadirin bersama-sama mendoakan semoga calon mempelai mendapat restu dari Allah dan menjadi suri tauladan karena martabat dan harga dirinya yang tinggi. Acara ini sudah berlangsung sejak lama bahkan telah menjadi hal yang sakral sehingga nyaris menjadi suatu hal yang wajib dilakukan dalam setiap pernikahan terutama bagi mempelai perempuan.
Prosesinya senantiasa diberi sentuhan nuansa Islami, sarat dengan pemberian doa restu oleh segenap keluarga dan handai taulan. Akkorontigi hanyalah satu dari sekian banyak nilai-nilai luhur budaya yang hingga saat ini masih terjaga dan langgeng sepanjang masa bagi masyarakat di Makassar, umumnya di Sulsel.
(Sumber foto: 4.bp.blogspot.com)