LAYAR NEWS, Jakarta – Debat Calon Presiden (Capres) terakhir, yang akan dilaksanakan pada Minggu, 4 Februari 2024, dianggap sangat relevan dengan permasalahan anak. Menurut Save the Children Indonesia, isu tentang anak sering diabaikan dalam konstelasi politik. Padahal jumlah pemilih anak (17 tahun atau dengan kategori tertentu) sekitar 6.000-an.
Sementara dan pemilih pemula dengan kategori orang muda mencapai 31,23 persen jika usianya sampai 30 tahun dari keseluruhan pemilih tahun 2024 ini. Pelibatan pemilih usia anak seharusnya bukan hanya dalam kampanye massa saja, tetapi bagaimana kepentingannya diperhatikan, apalagi bahwa menuju dan saat Indonesia Emas 2045, anak-anak sekarang ini yang akan menjadi aktor utama dalam pembangunan.
Pengabaian isu-isu anak dapat mengakibatkan bonus demografi tidak dimanfaatkan dengan baik, bahkan risiko biaya sosial akan tinggi jika problem anak tidak diperhatikan. Jumlah penduduk anak (di bawah 17 tahun) saat ini sangat besar, yaitu sekitar 80 juta jiwa atau 29 persen dari penduduk Indonesia.
Periode pembangunan lima tahun ke depan sangat strategis sebagai tahap awal pembangunan jangka panjang kedua tahun 2025-2045. Pembangunan perlindungan dan kesejahteraan anak pada periode pembangunan menengah pertama tahun 2025-2029 akan sangat berat. Hal ini karena ada tantangan ganda.
Pertama, beberapa permasalahan yang belum tuntas seperti stunting, kematian anak, kekerasan pada anak, perkawinan anak, pekerja anak, dan juga dampak dari COVID-19 seperti munculnya kembali polio dan campak. Kedua, disrupsi global seperti krisis iklim dan kemajuan teknologi informasi mulai berdampak pada anak seperti kesehatan anak, kesehatan mental anak, dan kekerasan dalam ranah daring.
Menurut Bank Dunia dan ADB (2021), Indonesia sangat rentan terhadap bencana hidrometeorologis. Pada tahun 2019, 90 persen dari 3.622 bencana terkait hidrometeorologis yang berhubungan dengan perubahan iklim seperti topan, banjir, longsor, kebakaran hutan, dan lahan. Menurut UNICEF, Indonesia berada dalam kategori risiko tinggi (urutan 46) dampak perubahan iklim.
Penelitian Save the Children di Bandung (2023), menunjukkan masih rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai dampak dan apa yang bisa mereka lakukan dalam menanggapi dampak perubahan iklim pada sektor-sektor kehidupan mereka. Di perdesaan, kapasitas anak muda (di bawah 25 tahun) mengenai hal tersebut justru lebih rendah daripada orang dewasa.
Dalam hal kekerasan dalam ranah daring, menurut ChildFund (2022), 5 dari 10 anak dan remaja telah menjadi pelaku perundungan secara daring dalam 3 bulan terakhir saat penelitian dilakukan, sedangkan yang menjadi korban 6 dari 10 anak. Anak laki-laki dan perempuan sama-sama berisiko menjadi korban perundungan secara daring.
Data ini berkaitan dengan kesehatan mental, dimana ada tahun 2023, 34,9 persen setara dengan 15.5 juta remaja memiliki satu masalah kesehatan mental dan 5.5 persen (2.45 juta remaja) memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir (I-NAMHS, 2022).
“Kedua tantangan tersebut mengancam kesejahteraan anak dan berpotensi menimbulkan masalah perlindungan anak. Oleh karena itu kami mendorong kepada Presiden dan Wakil Presiden yang nantinya terpilih agar memprioritaskan dan memperkuat program kesejahteraan dan perlindungan anak agar well-being dan resiliensi anak terbangun dalam menghadapi berbagai tantangan,” kata Tata Sudrajat, Interim Chief of Advocacy, Campaign, Communication dan Media, Save the Children Indonesia dalam siaran pers yang diterima, Sabtu, 3 Februari 2024.
Tata menambahkan bahwa seluruh upaya dalam memastikan kesejahteraan sosial dan pembangunan sumber daya manusia di Indonesia harus mengedepankan prinsip pemenuhan hak. Yaitu kepentingan terbaik bagi anak, tumbuh kembang anak, non diskriminasi, dan menghargai pendapat anak.
Sesuai dengan tema debat kelima ini, hal-hal yang perlu menjadi perhatian dan prioritas dalam 2024-2029 diantaranya adalah:
1. Kesejahteraan sosial: peningkatan pengasuhan anak, baik dalam keluarga maupun dalam pengasuhan alternatif. Pola pengasuhan anak saat ini harus responsif terhadap digitalisasi dan masalah kesehatan mental. Masalah perkawinan anak juga harus diturunkan dari 8,06% (2022) juga pemberian dispensasi kawin yang justru meningkat, menjadi 64.200 (2020 dari 23.1000 (2019).
2. Pendidikan: peningkatan Wajib Belajar Pendidikan Nasional menjadi 13 tahun sampai SMA termasuk PAUD 1 tahun, agar partisipasi pendidikan terutama SMP dan SMA naik secara nyata.
3. Teknologi Informasi: Peningkatan literasi internet sehat, penguatan regulasi untuk perlindungan, dan penambahan unit cyber di berbagai Polda yang merespon kejahatan anak di ranah daring.
4. Kesehatan: Penanganan kematian anak akibat penyakit yang dapat diatasi, peningkatan layanan kesehatan mental, dan mitigasi terhadap masalah kesehatan baru yang mengancam. Akses anak ke BPJS juga masih merupakan tantangan.
5. Ketenagakerjaan: memperluas upaya penanganan pekerja anak di sektor pertanian dan perkebunan dengan pendekatan pentahelix dan kesempatan bekerja untuk orang muda dengan disabilitas. Jumlah pekerja anak masih 1,05 juta (2021), sedangkan anak yang bekerja masih 3,36 Juta (2020)
6. SDM: Unit pelayanan pencegahan dan penangan anak sudah berjalan di hampir setengah jumlah kabupaten/kota, namun, perlu penguatan SDM tenaga perlindungan anak baik melalui pengadaan tenaga baru, peningkatan kompetensi dan sertifikasi SDM, dan akreditas lembaga perlindungan anak.
7. Inklusi: Tidak boleh ada seorangpun anak yang tertinggal. Setiap anak, baik laki-laki maupun perempuan, termasuk yang disabilitas, dan berada di kelompok marjinal dan minoritas, harus mendapatkan kesetaraan akses terhadap seluruh layanan dasar.
(Sumber foto: Save the Children Indonesia)